Senin, 02 April 2012

KONSEP REZEKI DALAM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Rezeki sering dibahas oleh banyak kalangan maasyarakat baik itu dari petani, pedagang, pelajar bahkan dari kalangan cendekiawan. Kata rezeki juga selalu menghiasi dalam setiap do’a yang dipanjatkan oleh semua umat islam. Ketika mereka menengadahkan tangan meohon kepada Allah SWT, kata rezeki selalu hadir.
 Meskipun demkian terkadang terjadi salah kaprah ketika membahas masalah rezeki, sehingga ada sebagian orang yang terjebak dalam memahami hakikat rezeki, yang mengakibatkan mereka tidak sejalan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Kaum muslim mulai meniggalkan tuntunan syariat Islam di dalam usaha  mereka untuk mendapatkan rezeki tersebut.
2.    Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan diangkat disini menyangkut tentang sebab datangnya rezeki. Karena masalah ini selalu menjadikan sebagian orang salah dalam memahami sebab datangnya rezeki. Pada akhirnya mereka akan semakin keliru ketika menjabarkan sebab datangnya rezeki tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN
1.    Asal Kata
Kata rezeki berasal dari bahasa arab yaitu razaqa berarti a’tha,yang artinya  memberikan sesuatu. Rezeki terdiri dari 2 bagian, ada yang halal ada juga yang haram dan keduanya sama-sama dinamakan rezeki. Misalnya ada seseorang yang memperoleh hartanya dengan cara berdagang sebagai hasil dari usaha dia berdagang, ada juga seorang pencuri yang memperoleh hartanya dengan dengan mencuri sebagi upaya kerjanya. Semuanya adalah harta yang diberikan Allah SWT kepada kedua orang tersebut, ketika mereka bersusah payah mengeluarkan keringat dan memeras tenaga dalam mengusahakan suatu pekerjaan yang disitu biasanya dapat mendatangkan rezeki.
2.    Kesalahan Memahami Rezeki
Banyak sekali orang yang menyangka bahwa mereka sendirilah yang memberikan rezeki untuk dirinya dikarenakan pekerjaan yang mereka lakukan selama ini. Misalnya ada seorang karyawan swasta yang memperoleh uang ketika dia telah memeras tenaganya. Dia menyangka bahwa dia sendirilah yang mendatangkan rezeki kepada dirinya sendiri. Dan tatkala orang tersebut mendapatkan kenaikan gaji karena bekerja dengan giat atau karena memang berusaha memperoleh kenaikan gaji. Dia pun menyangka behwa dia sendirilah yang mendatangkan rezeki tersebut. Ada lagi seorang pedagang yang memperoleh keuntungan dari usahanya menyangka pula bahwa dialah yang mendatangkan rezeki untuk dirinya sendiri. Sama juga dengan tukang ojek yang telah mengantarkan penumpang lalu dia mendapatkan upah dari penumpang tersebut, menyangka bahwa dia sendiri yang memberikan rezeki kepada dirinya, dan masih banyak lagi hal yang serupa dengan keadaan tadi. Banyak orang menyangka demikian karena mereka belum memahami hakikat dari “ keadaan “ (usaha) yang dapat mendatangkan padanya rezeki. Sehingga menyangka bahwa usaha merekalah yang menjadi sebab datangnya rezeki.
3.    Hakikat Rezeki
Sebagai seorang muslim harus meyakini dengan pasti bahwa rezeki itu berasal dari sisi Allah SWT, bukan berasal dari manusia, dan setiap keadaan(usaha) yang biasanya mendatangkan rezeki tidak lain adalah kondisi tertentu yang berpeluang menghasilkan rezeki. Tetapi bukan sebagai sebab datangnya rezeki. Apabila usaha dianggap sebagai sebab, maka setiap usaha pasti akan mendatangkan rezeki. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian, karena kadang-kadang “ keadaan “ (usaha) itu telah diupayakan, tetapi rezeki tidak datang. Hal ini menunjukan bahwa usaha bukanlah sebab datangnya rezeki, dengan melihat keterangan di atas, melainkan hanyalah berupa “cara atau usaha” untuk memperoleh rezeki.
Disamping itu, tidak mungkin kita menganggap bahwa “keadaan atau usaha” yang biasanya dapat mendatangkan rezeki  menjadi sebab datangnya rezeki. Tidak mungkin juga menganggap bahwa orang yang telah berusaha sekuat tenaga dalam upaya orang itu mendapatkan rezeki,menganggap dia sendirilah yang mendatangkan rezeki dari usaha yang dilakukannya. Hal tersebut sangat tidak sesuai dan bertentangan dengan nash-nash Al-Qur’an yang qathi baik itu di lihat dari dalalahnya (penunjukan maknanya) dan tsubutnya (sumbernya). Maka segagai seorang muslim ketika mendapatkan suatu pemahaman atau pengertian yang bertentangan dengan nash-nash yang qath’i, maka yang harus dipilih adalah nash-nash yang qath’i. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan dengan dengan keterangan yang jelas dan gamblang serta tidak dapat menerima ta’wil lain bahwasannya rezeki adalah semata-mata dari sisi Allah SWT, buan berasal dari manusia ataupun yang lainnya.
Dari semua penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa semua usaha ataupun yang mengupayakannya hanyalah suatu keadaan yang biasanya mendatangkan rezeki, sebagaimana dari firman Allah
(#qè=ä.ur $£JÏB ãNä3x%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# OçFRr& ¾ÏmÎ/ šcqãZÏB÷sãB ÇÑÑÈ  
88. dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.
ª!$# Ï%©!$# öNä3s)n=s{ ¢OèO öNä3s%yu ¢OèO öNà6çGŠÏJム¢OèO öNä3ÍŠøtä ( ö@yd `ÏB Nä3ͬ!%x.uŽà° `¨B ã@yèøÿtƒ `ÏB Nä3Ï9ºsŒ `ÏiB &äóÓx« 4 ¼çmoY»ysö7ß 4n?»yès?ur $¬Hxå tbqä.ÎŽô³ç ÇÍÉÈ  
40. Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.

Ayat-ayat di atas serta ayat-ayat yang lainnya menunjukan ta’wil yang satu dan tidak ada ta’wil yang lainnya yaitu, bahwa rezeki semaa-mata berasal dari sisi Allah SWT, bukan dari yang lainnya.
4.    Kedudukan Usaha
Meskipun demikian Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambanya untuk berupaya mencari rezeki yang diberikan dengan melakukan berbagai macam pekerjaan. Manusia dibebaskan memilih dan melaksanakan usaha-usaha yang biasanya mendatangkan rezeki. Mereka sendirilah yang mengusahakannya dan berikhtiar dengan berbagai macam cara. Meskipun bukan mereka yang mendatangkan rezeki, tetapi hanya Allah saja lah yang memberikan rezeki. Bahkan Allah SWT memberikan rezeki kepada manusia dalam berbagai keadaan, tanpa memandang apakah cara atau usaha tersebut halal atau kah haram, baik yang dibolehkan atau yang dilarang, serta tanpa memandang usaha tersebut menghasilkan rezeki atau tidak.
5.    Kedudukan Bekerja Menurut Islam
Islam telah menjelaskan tatacara yang diperbolehkan serta yang dilarang dalam mengupayakan usaha yang biasanya rezeki didapatkan. Dalam Islam usaha-usaha yang diperbolehkan harus sesuai dengan yang ditentukan oleh hukum syara’, sehingga tidak boleh seorang pun kaum muslimin yang memperoleh harta dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum syar’iat Islam.


BAB III
KESIMPULAN
Dari semua yang dipaparkan di BAB I dan BAB II dapat disimpulkan bahwa rezeki semata-mata dari sisi Allah tidak ada lagi dari yang lainnya. Sehingga sangat keliru jika masih ada yang beranggapan bahwa usaha atau pun dirinya sendiri yang memberikan rezeki, karena bertentangan dengan nash-nash yang ada dalam Al-Qur’an.



BIBLIOGRAFI
Hj. Ahmad bin Hj. Awang. Konsep Bekerja Menurut Pandangan Islam.
Ismail, muhammad, Nurcholis (Penerjemah). 1996. Al Fikru Al Islamiy (Bunga Rampai Pemikiran Islam). Jakarta: Gema Insani Press.

3 komentar:

  1. Terima kasih ats pencerahannya mengenai rizki sehingga sy menjadi lebih bergairah dlm bekerja tanpa memandang jenis pekerjaanya yg penting halal dan diridhoi allah

    BalasHapus
  2. Cukup sederhana penjelasan tentang Konsep Rezeki ini yang semoga dapat saya pahami. terima kasih...

    BalasHapus
  3. Ustadz,
    ayat-ayat Al-Qur'an tidak bisa ditampilkan pada program windows word. mungkin bisa diganti dengan nomor surat dan ayatnya saja. salam.

    BalasHapus